TIDAK jarang kita dikejutkan oleh berita kematian teman, tetangga, atau keluarga yang belum lama berselang kita temui dalam keadaan "sehat". Bentuk kematian yang seperti itu sering kita sebut sebagai kematian mendadak.
Kematian mendadak, yang dalam bahasa aslinya disebut sudden cardiac death, didefinisikan sebagai kematian yang tidak terduga atau proses kematian yang terjadi cepat, yaitu dalam waktu 1 jam sejak timbulnya gejala. Sekitar 93 persen SCD adalah suatu kematian aritmik. Artinya, kematian terjadi akibat timbulnya gangguan irama jantung yang menyebabkan kegagalan sirkulasi darah.
DI negara maju seperti Amerika Serikat, kejadian sudden cardiac death (SCD) mencapai 400.000 kasus per tahun. Jumlah ini hampir 50 persen dari seluruh kematian yang terjadi. Keadaan yang sama bisa jadi dialami juga oleh negara kita, khususnya di perkotaan, di mana pola penyakitnya sudah sama dengan pola penyakit negara-negara maju.
SCD dapat terjadi pada orang yang memiliki sakit jantung yang manifes secara klinis maupun pada penyakit jantung yang "silent". Artinya, kematian mendadak dapat terjadi baik pada mereka yang telah diketahui menderita sakit jantung sebelumnya maupun pada mereka yang dianggap sehat-sehat saja selama ini.
Penyakit jantung koroner (PJK) masih merupakan penyakit yang paling sering didapatkan pada pasien yang mengalami SCD. Telah diketahui bahwa wanita lebih lambat 10 tahun dalam insiden PJK dibandingkan dengan pria sehingga terdapat gender gap pada kejadian SCD. Keadaan ini sering membuat masyarakat, bahkan para dokter, berpikir bahwa SCD dan PJK hanya merupakan masalah kaum adam. Apakah benar demikian?
"Gender gap"Wanita yang pernah mengalami serangan jantung atau infark miokard akut (IMA) memiliki peluang yang sama dengan pria untuk mengalami SCD.
Studi Framingham, suatu landmark studi epidemiologik jangka panjang, menunjukkan bahwa pada penderita dengan riwayat penyakit jantung, pria mempunyai risiko SCD 2-4 kali lipat dibandingkan dengan wanita.
Sementara itu, data yang lebih baru dari Abildstrom dan kawan-kawan yang melakukan studi prospektif selama empat tahun pada 6.000 pasien yang selamat dari IMA menemukan bahwa pria mengalami SCD hanya 1,3 kali lebih sering dibanding wanita. Temuan yang dipublikasikan tahun 2002 itu menunjukkan terjadi peningkatan SCD pada wanita.
Sejumlah besar data menunjukkan bahwa wanita dan dokternya harus memahami bahwa penyakit jantung dan SCD bukan hanya isu kaum adam atau manula saja. Beberapa peneliti dari National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion Amerika Serikat mendapatkan bahwa kejadian kematian mendadak yang disebabkan penyakit jantung yang dialami oleh wanita muda meningkat lebih dari 31 persen selama periode 1989-1996. Padahal, pria hanya mengalami peningkatan sekitar 10 persen selama periode yang sama.
Temuan ini sangat mengejutkan para ahli sehingga secara aktif digali faktor-faktor yang diduga menyebabkan keadaan tersebut. Peningkatan yang bermakna dari frekuensi kejadian diabetes, overweight dan obesitas pada wanita, kecenderungan meningkatnya wanita perokok, dan screening kesehatan serta pengobatan penyakit jantung yang kurang agresif pada wanita dibandingkan pria diduga merupakan faktor-faktor yang turut berperan pada peningkatan SCD pada wanita.
Kemudian, data lain juga menunjukkan bahwa wanita kurang menyadari gejala serangan jantung sehingga terlambat mendapatkan pertolongan. Wanita tidak mendapatkan perawatan yang tepat waktu karena mereka dan dokternya lambat mengambil kesimpulan terhadap suatu gejala penyakit jantung.
Badan epidemiologi nasional di Amerika mendapatkan bahwa proporsi wanita yang mengalami kematian di luar rumah sakit lebih tinggi dari pada pria. Hampir 52 persen wanita yang mengalami SCD terjadi di luar rumah sakit, dibandingkan hanya 42 persen pada pria. Hal ini terjadi karena gejala penyakit jantung pada wanita sering berbeda dengan pria sehingga terlambat dikenali.
Penelitian-penelitian menunjukkan, wanita lebih sering mengeluh nyeri pada rahang atau leher dan nyeri bahu, mual, muntah, lemas, atau kembung sebagai gejala penyakit jantung dibandingkan pada pria. Sembilan puluh persen wanita yang di survei pada tahun 1997 tidak menyadari akan gejala yang tidak khas itu. Di lain pihak, pria lebih sering mengalami gejala nyeri dada tipikal yang menjalar sehingga mereka dan tenaga medis segera mengenalinya sebagai serangan jantung.
Kenyataan seperti diuraikan di atas merupakan suatu ironi di bidang kesehatan. Tampak jelas bahwa informasi kesehatan yang memadai baik bagi awam maupun tenaga medis akan menentukan outcome pelayanan kesehatan. Penyakit jantung koroner sebagai penyebab kematian mendadak yang paling sering harus tetap diwaspadai dengan saksama pada wanita yang memiliki faktor-faktor risiko tertentu.
Faktor risiko SCDPada suatu penelitian skala besar yang dinamai sebagai Nurses Health Study-di mana diteliti 121.701 wanita perawat berusia antara 30-55 tahun dan diamati selama 22 tahun (1976-1998)-didapatkan 244 kasus SCD.
Dalam hal ini, SCD didefinisikan sebagai kematian yang terjadi dalam waktu satu jam dari timbulnya gejala. Albert dan kawan-kawan, peneliti pada Nurses Health Study, mendapatkan bahwa 69 persen dari SCD itu adalah manifestasi awal dari penyakit jantung para wanita tersebut. Hal ini berarti bahwa para wanita yang mengalami SCD sebagian besar tidak mempunyai gejala atau tidak pernah terdiagnosis penyakit jantung sebelumnya. Kemudian, hampir semua wanita yang mengalami SCD dalam studi ini mempunyai paling sedikit satu faktor risiko PJK. Merokok merupakan faktor risiko SCD yang paling kuat pada wanita, di mana wanita yang merokok 25 batang atau lebih per hari, mempunyai empat kai lipat peningkatan risiko SCD. Keadaan ini sama dengan risiko SCD pada wanita yang pernah mengalami serangan jantung sebelumnya. Diabetes menyebabkan peningkatan hampir tiga kali lipat risiko SCD, hipertensi menyebabkan sekitar 2,5 kali peningkatan risiko, dan obesitas menyebabkan peningkatan sampai 1,6 kali risiko, sementara kadar kolesterol yang tinggi tidak menunjukkan peningkatan risiko SCD yang signifikan. Riwayat keluarga dengan orangtua yang meninggal karena PJK sebelum usia 60 tahun juga merupakan faktor risiko SCD, hal ini menunjukkan adanya keterkaitan faktor genetis. Maka, penting sekali memahami bahwa masyarakat dan kalangan medis tidak boleh hanya fokus kepada asisten yang sudah terdokumentasi adanya penyakit jantung saja dalam hal prevensi SCD, tetapi juga terhadap mereka yang hanya memiliki faktor risiko walau belum manifes secara klinis.
Diyakini, kesadaran akan bahaya SCD dengan mengelola faktor PJK akan sangat menurunkan kejadian SCD. Selain itu, terdapat karakteristik sistem tata listrik jantung yang unik pada wanita, yang dapat menambah kemudahan tercetusnya suatu kelainan irama jantung yang berbahaya. Hal ini ditunjukkan dengan laju jantung yang lebih cepat pada wanita dan masa repolarisasi sel- sel otot jantung yang lebih panjang yang dipengaruhi hormon kewanitaan.
Sebagaimana pada pria, wanita yang pernah mengalami serangan jantung juga mempunyai risiko SCD. Besarnya risiko SCD sangat ditentukan oleh sisa kemampuan jantung memompa darah setelah mengalami serangan jantung. Kemampuan pompa jantung dinilai dengan parameter yang disebut fraksi ejeksi. Penilaian fraksi ejeksi dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut ekokardiografi. Pemeriksaan ini mudah dikerjakan, tanpa persiapan khusus, dan bersifat non- invasif.
Terdapat beberapa penelitian yang secara jelas memperlihatkan bahwa penurunan fraksi ejeksi setelah suatu serangan jantung akan meningkatkan kejadian kematian, di mana fraksi ejeksi kurang dari 35 persen merupakan prediktor paling kuat dari mortalitas total pada satu tahun pertama pascaserangan jantung. Pasien dengan fraksi ejeksi antara 15-35 persen lebih sering meninggal karena kematian aritmik atau SCD. karena itu, penting sekali bagi penderita serangan jantung mengetahui sisa kemampuan pompa jantungnya. Pengetahuan ini akan menentukan penanganan selanjutnya dalam mencegah kejadian SCD.
Selain dengan fraksi ejeksi, pemeriksaan lain yang lebih sederhana dengan menggunakan rekaman elektrokardiografi (EKG) sangat bermanfaat dalam penilaian risiko SCD pascaserangan jantung. Dokter jantung akan menilai lebar gelombang QRS pada rekaman EKG untuk membantu meramalkan risiko kematian mendadak. Pasien yang mengalami penurunan fraksi ejeksi disertai lebar gelombang QRS lebih dari 150 mili detik memiliki risiko kematian yang lebih tinggi.Penyakit jantung khusus pada wanitaTerdapat suatu penyakit yang ditandai oleh pemanjangan interval QT pada rekaman EKG, yaitu suatu interval yang menghubungkan awal gelombang QRS dengan gelombang T. Penyakit ini disebut sebagai Long QT syndrome (LQTS).
LQTS menempati kedudukan penting di bidang penyakit jantung karena keadaan ini berisiko menimbulkan kematian mendadak melalui suatu mekanisme yang disebut afterdepolarization. Afterdepolarization akan menyebabkan kelainan irama jantung yang disebut torsa de pointes, yang mematikan. Berdasarkan data dari International Registry on Long QT Syndrome didapatkan 66 persen penderitanya adalah wanita.
Risiko kejadian fatal pada pria dengan QTS menurun setelah pubertas dan menjadi sangat rendah setelah usia 20 tahun. Sebaliknya pada wanita LQTS mempunyai risiko kejadian fatal yang menetap sampai pada usia dewasa. Hal ini mungkin karena efek protektif dari hormon pria. Sembilan persen wanita dengan LQTS mengalami kejadian fatal yang pertama pada saat kehamilan. Patut kiranya masyarakat, khususnya wanita, mengetahui status kesehatan jantungnya dengan melakukan rekaman jantung secara berkala sehingga kematian yang tidak perlu dapat dihindarkan.
Penyakit jantung lain yang dihubungkan dengan risiko SCD adalah mitral valve prolapse (MVP). MVP adalah suatu kelainan pada katup jantung, yaitu katup mitral, di mana terjadi gangguan penutupan katup mitral akibat struktur katup yang mengalami degenerasi. Meskipun prevalensi MVP hanya berkisar 3-4 persen dari populasi dewasa normal yang berusia 40-60 tahun, akan tetapi kejadiannya lebih sering pada wanita (75 persen).
Dalam kaitan dengan SCD, MVP dikelompokkan kepada MVP dengan atau tanpa kebocoran darah melalui katup mitral. Insiden SCD pada MVP tanpa kebocoran mitral adalah 0,01-0,02 persen per tahun, lebih rendah dari risiko SCD per tahun akibat penyebab apa pun pada populasi umum (0,2 persen per tahun). Akan tetapi, insiden SCD meningkat 50-100 kali menjadi 0,9-2 persen per tahun pada MVP yang disertai kebocoran mitral.
Sekalipun mekanisme SCD pada MVP tidak sepenuhnya dimengerti dan cenderung kontroversial, tetapi beberapa peneliti mendapatkan bahwa dapat terjadi gangguan pembentukan dan penjalaran impuls listrik jantung pada MVP, kemudian didapatkan juga temuan yang konsisten berupa aritmia yang berasal dari serambi dan bilik jantung. Pemeriksaan ekokardiografi dapat mengetahui ada tidaknya MVP pada penderita yang sering mengeluh berdebar.Upaya pencegahan SCDApa yang dapat dilakukan terhadap mereka yang mempunyai risiko SCD?
Karena PJK masih merupakan penyebab SCD terbanyak baik pada pria maupun wanita, mengontrol dan menghilangkan faktor risiko PJK (hipertensi, diabetes melitus, obesitas, merokok, dislipidemia) merupakan upaya pencegahan primer yang sangat penting. Kontrol faktor risiko PJK akan menurunkan kejadian serangan jantung sehingga risiko SCD-nya dapat diperkecil.
Bagi mereka yang telah mengalami serangan jantung, pemeriksaan fraksi ejeksi sangat krusial. Belum lama ini telah dibuktikan bahwa pemasangan alat ICD (implantable cardioverter defibrillation) dapat menurunkan kejadian SCD secara bermakna. Alat ini juga berguna bagi penderita LQTS.
Beberapa metode dapat dipergunakan untuk penilaian risiko aritmogenik pasca-miokard infark, yaitu penilaian klinis, fraksi ejeksi, laju jantung, durasi QRS, durasi QT, dispersi QT, single averaged ECG, T-wave alternans, holter monitoring, sensitivitas baroreflex, dan elektrofisiologi studi. Penilaian elektrokardiografis sangat bermanfaat untuk menentukan pasien dengan risiko tinggi SCD.Kematian mendadak dapat terjadi baik pada wanita yang diketahui menderita penyakit jantung maupun pada mereka yang hanya memiliki faktor risiko PJK. Kecenderungan masyarakat yang menganggap PJK sebagai penyakit yang hanya diderita kaum pria, dan seringnya wanita menunjukkan gejala PJK yang tidak khas, menjadi sebagian penyebab dari peningkatan kejadian SCD pada wanita yang lebih besar dari pria pada dekade terakhir. Teknik pemeriksaan non-invasif yang sederhana dengan menggunakan EKG terbukti dapat menjadi alat stratifikasi risiko SCD pada wanita.
Oleh Yoga Yuniadi Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FKUI dan Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta